right_side
In:

Didik Purwanto (35): Manusia Patung - Editorial - Faces Of Jakarta | areamagz.com

Didik Purwanto (35): Manusia Patung - Editorial - Faces Of Jakarta | areamagz.com



DIDIK PURWANTO (35): MANUSIA PATUNG

”Ingin Tampil di Luar Negeri untuk Mempromosikan Indonesia”

Didik sebagai patung nelayan

Jika mengunjungi Kota Tua, Anda akan melihat aksi para manusia patung yang menjadikan kawasan wisata ini menjadi semakin menarik dan unik. Dearesti Jodistia Rakanita pun tertarik untuk mengajak salah satunya berbincang.

Bagaimana awalnya Anda bisa menjadi seorang manusia patung?
Saya sangat menyukai dunia entertainment, khususnya acting. Dulu saya sering menjadi tokoh figuran di sinetron dan film lalu bergabung di sebuah sanggar seni untuk belajar acting. Saya juga sempat menjadi asisten manusia patung. Dari situ saya melihat setiap penampilannya dan mulai belajar sampai akhirnya tertarik untuk menjadi manusia patung.

Sejak kapan Anda berkecimpung di dunia ini?
Sejak 2007.

Anda berasal dari mana?
Surabaya.

Apa nama sanggar yang Anda ikuti?
Indonesia Community Art.

Perlukah keahlian khusus untuk menjadi manusia patung?
Sebenarnya tidak perlu. Yang penting adalah konsentrasi dan banyak latihan. Kebetulan, saya ikut sanggar jadi sering berlatih bersama. Saya belajar banyak gaya seperti gaya robot, pantomim, slow motion, dan manusia patung.

Anda sudah pernah tampil di mana saja?
Sehari-hari saya biasa tampil di sini, Kota Tua. Untuk acara tertentu, saya lebih sering tampil untuk acara kementerian, seperti Kementerian Pariwisata, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Lingkungan Hidup.

Bagaimana Anda mempersiapkan properti?
Semuanya sudah disediakan dari sanggar, namun saya juga sudah dilatih untuk menyiapkan semuanya secara mandiri. Jadi, bila sewaktu-waktu ada acara dadakan, saya sudah siap.

Apakah memerlukan izin untuk tampil di sini?
Tidak perlu. Sanggar yang saya ikuti sudah termasuk dalam binaan Kota Tua.

Karakter apa saja yang pernah Anda mainkan?
Saat ini saya sedang menjadi seorang nelayan. Saya juga pernah tampil sebagai tentara dan manusia berjas seperti di Eropa, memakai baju adat, serta berpantomim.

Setiap hari apa saja Anda tampil di sini?
Tidak tentu. Namun, setiap Sabtu dan Minggu pasti saya tampil.

Berapa lama durasi penampilan Anda?
Mulai dari siang, sehabis zuhur sampai sekuatnya saya saja. Ha-ha-ha. 

Apa suka dan duka yang Anda alami selama ini?
Sukanya, sebagai pekerja seni, saya merasa punya keahlian tersendiri. Dukanya, banyak pengunjung yang iseng seperti mencolek, mencubit, dan menggoda untuk merusak konsentrasi saya. Selain itu, saya sering menahan rasa ingin buang air dan lapar.

Lalu, bagaimana Anda menanggapi keisengan pengunjung?
Terserah mereka mau anggap saya sombong atau apa. Saya hanya mematuhi kode etik. Jadi, saya tetap profesional dan terus menjalankannya. 

Apakah penghasilan Anda mencukupi?
Ya, cukup, lha. Kebetulan saya belum berkeluarga, jadi cukup untuk keperluan sehari-hari.

Apa harapan Anda ke depan?
Saya ingin sekali tampil di luar negeri untuk mempromosikan Indonesia. Saya harap Kementerian Pariwisata atau Kementerian Ekonomi dan Kreatif lebih melirik kami yang berprofesi sebagai pekerja seni agar kami lebih diberdayakan.

Bagaimana tanggapan Anda tentang Kota Jakarta saat ini?
Kota Jakarta semakin berkembang, begitu pun dengan masalah yang dihadapi, seperti banjir dan macet yang tak kunjung usai.

0 komentar: